![]() |
Laksamana Malahayati |
Dari Aceh untuk Lautan Nusantara: Kisah Malahayati, Sang Laksamana Perempuan
Karir dan Peningkatan Pangkat
Dari Pejuang Biasa Hingga Menjadi Laksamana
Di tengah arus sejarah yang sering kali melupakan nama perempuan, Malahayati tampil sebagai sosok yang luar biasa. Kecerdasannya tak sekadar menonjol, tapi menjadi penopang utama karier gemilangnya di lingkungan militer istana. Pada tahun 1585, di usia 35 tahun, ia telah dipercaya untuk menduduki posisi strategis sebagai Kepala Barisan Pengawal Istana Rahasia sekaligus Panglima Protokol Pemerintahan pada masa pemerintahan Sultan Ali Ri’ayat Syah II.
Namun, kecemerlangan bukanlah sesuatu yang hanya lahir dari pujian, melainkan dari ujian berat di medan perang. Tahun 1586, dalam pertempuran sengit melawan pasukan Portugis di Teluk Haru wilayah dekat Selat Malaka suami tercintanya, Laksamana Zainal Abidin bin Said Al-Latief, gugur di medan laga. Alih-alih tenggelam dalam duka, Malahayati justru bangkit. Ia mengambil alih komando, melanjutkan perjuangan sang suami, dan memimpin pasukan hingga akhirnya meraih kemenangan gemilang bagi Kesultanan Aceh.
Pendidikan Dan Pelatihan Militernya
Tempaan Pendidikan Dan Latihan Militer
Jejak Malahayati Dalam Sejarah Maritim Nusantara
Laut Jadi Saksi Perlawanan Malahayati
Malahayati dikenal sebagai sosok yang tidak hanya gagah berani di
medan tempur, tapi juga cermat membaca situasi politik maritim saat itu. Ia
turun langsung memimpin pasukan Inong Balee dalam sejumlah pertempuran penting
di laut demi mempertahankan kedaulatan Aceh dari cengkeraman penjajah.
Salah satu peristiwa yang paling dikenang terjadi pada 11
September 1599, ketika dua kapal Belanda, de Leeuw dan de Leeuwin, mencoba merapat ke pelabuhan Aceh Besar.
Kapal-kapal itu dipimpin oleh dua bersaudara, Cornelis dan Frederik de Houtman,
yang mengira bisa dengan mudah masuk ke wilayah Aceh. Namun, mereka tak tahu
bahwa Malahayati dan pasukannya sudah siaga menanti di perairan.
Pertempuran pun tak terhindarkan. Di tengah gelombang dan dentuman
meriam, Malahayati berhasil naik ke salah satu kapal musuh dan berhadapan
langsung dengan Cornelis. Dalam duel jarak dekat yang menegangkan, ia menghunus
rencong senjata khas Aceh dan mengakhiri nyawa Cornelis de Houtman. Kemenangan
ini membuat namanya makin harum dan ia pun mendapat kehormatan tambahan berupa
gelar resmi sebagai Laksamana Laut.
Tak berhenti di situ, Malahayati juga memainkan peran penting
dalam menahan laju Portugis yang sering mengacau di perairan Selat Malaka. Ia
sadar bahwa pertempuran tidak selalu harus dimenangkan dengan kekerasan.
Kemampuannya membaca situasi dan berbicara dengan pihak asing membuatnya
dihormati sebagai negosiator ulung. Ia turut menjalin hubungan strategis dengan
Inggris dan Kesultanan Utsmaniyah (Turki) untuk menjaga kestabilan kawasan.
Salah satu contoh diplomasi cerdasnya terlihat pada tahun 1602, saat utusan Inggris, James Lancaster, tiba dengan niat berdagang rempah-rempah. Alih-alih menanggapi dengan curiga atau permusuhan, Malahayati justru membuka jalur dialog. Ia berhasil meredam potensi konflik dan mengatur kesepakatan damai yang saling menguntungkan kedua pihak. Lewat kepemimpinannya, Aceh bukan hanya kuat di medan tempur, tapi juga disegani dalam percaturan diplomasi internasional.
Strategi Maritim Aceh Dan Warisan Pertahanan
Strategi Maritim Yang Mengukir Sejarah
Malahayati Sebagai Pemimpin Perempuan Dan Inspirasi Emansipasi
Malahayati Dan Semangat Emansipasi Yang Hidup Hingga Kini
Inspirasi Bagi Gerakan Perempuan
Dari Medan Tempur Ke Ruang Emansipasi
Pengaruh Dalam Pendidikan Dan Pelestarian Budaya
Mengajarkan Keberanianm Lewat Warisan
Nama
Malahayati tak hanya dikenal di buku sejarah, tetapi juga hidup dalam
ruang-ruang pendidikan dan kebudayaan Indonesia. Di berbagai jenjang
pendidikan, mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi, kisah perjuangannya
kerap dijadikan contoh nyata tentang kepemimpinan perempuan dan kekuatan
maritim nusantara. Ia muncul bukan hanya sebagai tokoh sejarah, tapi juga
sebagai karakter sastra yang menginspirasi.
Dalam kajian
akademik, nama Malahayati sering digunakan untuk menggambarkan strategi
pertahanan laut yang relevan hingga masa kini. Salah satu contohnya datang dari
Universitas Pertahanan Indonesia, yang menjadikan perjuangan Malahayati sebagai
studi kasus dalam memperkuat kesadaran akan pentingnya pertahanan maritim
nasional. Tak hanya itu, dalam banyak literatur tentang perempuan Aceh, namanya
hampir selalu disebut sebagai figur utama yang membentuk wajah perlawanan dan
kepemimpinan wanita di masa lalu.
Jejaknya juga
dilestarikan secara nyata dalam infrastruktur dan simbol militer. TNI Angkatan
Laut memberikan penghormatan khusus dengan menamai salah satu kapal perangnya
sebagai KRI Malahayati-362. Sementara di Aceh, sebuah pelabuhan penting yang
terletak di Desa Lamreh, Aceh Besar, juga diberi nama Pelabuhan Malahayati.
Pelabuhan ini kembali aktif pasca-tsunami dan berperan besar dalam mendukung
arus ekspor. Bahkan, di lingkungan TNI AL Jakarta, nama Malahayati diabadikan
pada berbagai fasilitas, mulai dari bangunan, sarana olahraga, hingga nama
jalan bukti bahwa warisannya tetap hidup dalam tubuh pertahanan negara.
Dunia seni
pun tak ketinggalan dalam merayakan kiprah Malahayati. Teater-teater sejarah,
baik di Jakarta maupun di Aceh, menjadikannya tokoh utama dalam pertunjukan
panggung. Para seniman lokal pun rutin memperingati hari kelahirannya dengan
acara budaya. Salah satunya adalah perayaan internasional bertajuk Hari Lahir
Laksamana Keumalahayati ke-474 yang digelar oleh Majelis Seniman Aceh pada
Januari 2024. Acara tersebut menghadirkan pertunjukan teater serta kesenian
tradisional sebagai bentuk penghormatan. Bahkan dalam sidang UNESCO tahun 2023,
tanggal 1 Januari ditetapkan sebagai Hari Perayaan Internasional Laksamana
Keumalahayati, dengan dukungan dari berbagai negara seperti Rusia, Turki,
Malaysia, Thailand, hingga Togo.